Ta’lim al-Muta’allim
Sedang di kalangan pesantren-pesantren modern yang penekanan pemahaman terhadap kitab-kitab salaf agak kurang, kitab Ta’lim ini nyaris tidak populer, bahkan tidak kenal sama sekali. Dan agaknya pengaruh kitab ini yang sedikit membedakan “penampilan” antara alumnus pesantren tradisional dengan alumnus pesantren modern.
Di beberapa negara Timur Tengah, khususnya Saudi Arabia kitab ini juga tidak disebut-sebut. Namun usaha seorang Doktor lulusan Jerman (dulu: Jerman Barat) yang melakukan edit dan kritik terhadap kitab ini membuktikan bahwa kitab tersebut masih diperhatikan orang.
Siapa al-Jarnuji?
Kitab Ta’lim yang beredar di tanah air umumnya dicetak dengan syarah (komentar)nya yang ditulis Syeikh Ibrahim ibn Isma’il. Sedang kitab Ta’lim itu sendiri ditulis oleh Syeikh al-Jarnuji. Baik kitab Ta’lim maupun Syarah-nya tidak menyebut identitas al-Jarnuji. Hal ini cukup mempersulit kajian kitab tersebut, sehingga dapat diketahui bagaiamana keadaan pada waktu kitab itu ditulis dan sejauhmana hal itu mempengaruhi kitabnya.
Dalam al-Munjid nama al-Jarnuji disebut singkat sekali. Yang agak membantu hal ini adalah keterangan yang terdapat dalam kitab al-A’lam (Tokoh-tokoh) karangan al-Zarkeli. Ditulis di situ bahwa al-Jarnuji adalah al-Nu’man ibn Ibrahim ibn Khalil al-Jarnuji, Taj al-Din. Beliau adalah sastrawan (adib) yang berasal dari Bukhara. Semula berasal dari Zarnuj, suatu kawasan di negeri-negeri seberang sungai Tigris (ma wara`a al-nahr). Beliau antara lain menulis kitab al-Muwadhdhah Syarh al-Maqamat al-Haririyah, dan wafat pada tahun 630 H/ 1242 M.
Al-Zarkeli tidak menuturkan di mana al-Jarnuji tinggal, namun secara umum al-Jarnuji hidup pada akhir periode Daulah Abbasiyah, sebab Khalifah Abbasiyah terakhir (al-Mu’tashim) wafat pada tahun 1258 M. Ada kemungkinan beliau tinggal di kawasan Irak-Iran, sebab beliau juga mengetahui syair-syair Parsi di samping banyaknya contoh-contoh peristiwa pada masa Abbasiyah yang beliau tuturkan dalam kitabnya.
Etika Santri
Kitab kecil, yang juga disebut Risalah (surat) ini, oleh pengarangnya dimaksudkan sebagai buku petunjuk tentang metode belajar bagi santri, seperti tersembul dari judulnya. Namun apabila dikaji isinya, metode belajar yang dimaksud sangat sedikit. Di antara 14 bab yang terdapat kitab ini (istilah kitabnya, fashl) hanya satu bab saja yang membahas metode belajar. Selebihnya membahas tentang keutamaan ilmu, motivasi belajar, memilih ilmu, guru, dan kawan, memuliakan ilmu dan ulama, dan lain-lain. Bahkan membahas hal-hal yang dianggap dapat mempercepat rizki, karena belajar tak pelak lagi memerlukan hal itu.
Karenanya, kitab ini cenderung lebih tepat disebut sebagai kitab yang membahas etika santri, khususnya kepada guru-gurunya, dibanding sebagai kitab tentang metode belajar. Dan agaknya, bagian inilah yang paling banyak mempunyai dampak. Di lingkungan pesantren, santri yang tidak sopan terhadap guru, ia akan segera dicap “tidak pernah mengaji kitab Ta’lim”, tetapi santri yang bodoh yang boleh jadi belum atau tidak mempraktekan isi kitab tersebut, cap itu tidak akan disandanganya. Dan karena pengarangnya seorang santrawan, maka petuah-petuah untuk itu juga banyak diambil dari syair-syair Arab.
Namun persoalaannya tidak berhenti sampai di situ, al-Jarnuji menyebut kitabnya sebagai metode belajar, sedangkan kajiannya banyak membahas etika. Pertanyaannya sekarang adalah, apakah etika itu sendiri merupakan salah satu metode untuk meraih ilmu? Tampaknya di kalangan pesantren ada kecenderungan untuk menyebutkan bahwa etika santri, terutama kepada gurunya, merupakan salah satu perangkat untuk memperoleh ilmu. Kisah-kisah santri yang pada waktu nyantrinya menjadi khadam (pembantu) kyai, menjadi tukang ambil air, dan lain-lain, tiba-tiba setelah pulang muncul sebagai kyai yang alim, adalah cerita yang sangat populer di kalangan pesantren semata-mata karena keluhuran spiritual seorang kyai atau pendiri pesantren tersebut. Baginya masalah metode belajar tidak menjadi soal, yang penting setelah sekian lama menyantri kelak akan muncul sebagai kyai yang alim, berkat ‘barakah’ dari kyai tersebut.
Kecendungan ini masih sangat berpengaruh di masyarakat. Tak heran kalau tokoh pesantren seperti H.M. Yusuf Hasyim, Pengasuh Pesantren Tebuireng, membuat istilah adanya “lembaga Barakah” di pesantren, ketika santri belajar hanya semata-mata mengharapkan barakah dari kyai atau pendiri pesantren.
Adanya barakah sebenarnya tidak perlu dipersoalkan, sebab pengertian barakah adalah kebaikan atau manfaat yang berkembang. Dan dalam hal ini, hasil doa para kyai dan guru untuk para santrinya dapat disebut barakah. Hanya harapan santri untuk memperoleh barakah hendaknya tidak mengurangi usahanya dalam belajar secara lahiriah. Dengan demikian, santri dalam satu saat harus menyatukan antara usaha (ikhtiar) dan doa.
Menjadi Budak Guru?
Salah satu bagian dari petuah-petuah kitab ini —dan ini yang paling berpengaruh seperti dituturkan di muka— adalah keharusan seorang santri untuk menghormati gurunya, begitu pula orang-orang yang mempunyai pertalian darah dengannya, seperti puteranya dan lain-lain. Khusus untuk menghormati guru, al-Jarnuji menyitir ucapan Sayidina Ali, “ana ‘abdu man ‘allamani harfan, in sya`a ba’a, wa in sya`a a’taqa wa in sya’a istaqarra” (Saya adalah hamba orang yang pernah mengajarkan satu huruf kepada saya, apabila ia mau boleh menjualku, memerdekakanku, atau tetap memperbudakku). Al-Jarnuji juga menuturkan beberapa cara menghormati guru, antara lain santri tidak diperkenankan berjalan di hadapan guru, tidak diperkenankan duduk di tempat duduknya, tidak boleh mendahului berbicara tanpa izinnya. Tidak boleh banyak berbicara dengannya, tidak boleh menanyakan hal-hal yang gurunya sudah jenuh, tidak boleh mengetuk pintunya tetapi mesti menunggu sampai keluar sendiri. Walhasil, santri harus selalu mencari kerelaan gurunya (tidak menyakiti hatinya) dan mematuhi segala perintahnya, sepanjang hal itu bukan ma’siat.
Keterangan inilah, agaknya, yang menimbulkan persepsi penyerahan total seorang santri kepada gurunya. Apalagi bila diingat adanya bayang-bayang, ilmunya tidak akan bermanfaat apabila ia pernah berbeda pendapat (I’tiradh) dengan gurunya atau pernah menyakiti hatinya. Persepsi ini, meski mempunyai nilai positif, namun tak urung menimbulkan dampak yang kurang diinginkan. Sebab, santri harus bersikap menerima tanpa berani bersikap kritis.
Al-Jarnuji memang tidak memberikan rincian tentang masalah-masalah apa yang bisa menyakiti guru itu. Barang kali karena tidak adanya rincian ini menjadikan hal itu diberlakukan secara umum. Dan anehnya, meskipun hal itu hanya dibahas dalam rangka belajar, namun implementasinya justru tampak di luar itu. Persepsi ‘apa kata guru dan murid harus menerimanya’ sudah melembaga dalam kehidupan masyarakat secara luas.
Keharusan memperoleh kerelaan guru nampak sangar relatif, apalagi bila hal itu dihubungkan dengan masalah interpretasi. Ternyata al-Jarnuji tidak menuturkan satu dalil pun petuahnya itu, selain ucapan Sayidina Ali serta sejumlah syair.
Dalam kaitannya dengan tradisi keilmuan, apabila kita tengok masa-masa jauh sebelum al-Jarnuji, misalnya periode imam-imam penegak madzhab, kita dapat memperoleh gambaran bahwa mereka tidak selamanya sependapat dengan gurunya. Bahkan, di antara mereka ada yang mendirikan madzhab sendiri, terpisah dari madzhab gurunya. Jauh sebelum itu, Umar ibn Khathab pernah juga diprotes oleh seorang wanita yang juga sebagai muridnya. Bila petuah al-Jarnuji di atas menjadi kriteria, sebenarnya gurulah yang sebenarnya elastis dalam mengkonotasikan kerelaannya. Sebab, boleh jadi seorang guru merasa tersinggung (tidak rela) apabila muridnya berbeda pendapat dengannya, sedangkan guru lain justru merasa bangga, bakan mendorong apabila muridnya berpendapat lain selama hal itu berdasarkan argumen yang kuat.
Tentang bayangan bahwa ilmu seorang santri tidak akan bermanfaat apabila ia pernah menyakiti hati gurunya, juga perlu direnungkan kembali. Apakah batasan manfaat dan dalam hal apa murid tidak diperkenankan sama sekali menyakiti hati gurunya. Sebab, ternyata banyak murid yang sewaktu belajar pernah melakukan ‘unjuk rasa’ terhadap gurunya, namun setelah terjun di masyarakat ia justru menjadi ulama besar.
Ushul Fiqih, Menerobos Taklid
Kepatuhan mutlak seperti tersebut di atas umumnya terdapat di kalangan murid atau santri tingkat Tsanawiyah ke bawah. Mereka yang sudah menginjakkan kakinya di tingkat Aliyah, apalagi di perguruan tinggi, keadaan di atas memperoleh bentuk yang lain. Masalahnya bukan karena mereka tidak lagi patuh kepada gurunya, melainkan pada tingkat tersebut usaha penalaran mulai dikembangkan. Pada tingat Aliyah, misalnya, murid tidak lagi sekedar menerima pelajaran yang sudah mapan seperti fiqh dan lain sebagainya, tetapi dikenalkan pula sumber-sumber atau dalil-dalil pelajaran itu. Di sini santri mulai mengenal proses terbentuknya fiqh, yang kenal dengan ‘ushul fiqh’. Karena tujuan ushul fiqh adalah mengkaji sumber dan cara pengambilan hukum, maka secara praktis ia menghendaki agar manusia tidak bersikap taklid (menerima apa adanya tanpa mengetahui sumbernya). Disinilah murid mulai berani mempertanyakan keabsahan suatu hukum kepada gurunya, tanpa meninggalkan penghormatan kepadanya. Umumnya, pada tingkat ini guru cukup menghargai sikap murid-murid yang demikian. Biasanya keadaan ini didukung pula oleh sistem pengajian yang individual (sorogan) atau klasikal.
Karenanya, dapat dimaklumi apabila murid-murid pesantren yang menerapkan sistem klasikal dan individual ini lebih mencerminkan kelonggaran berfikir dari pada murid-murid pesantren yang menerapkan sistem pengajian bandongan (massal). Murid-murid pesantren tipe pertama akan mengatakan apa kata dalil dan bagaimana memprosesnya menjadi suatu hukum, sedang murid-murid pesantren tipe kedua lebih cenderung mengatakan apa kata guru atau apa kata kyai.
Keseimbangan (Tawazun)
Kitan Ta’lim karangan al-Jarnuji ini lebih tepat disebut sebagai kitab yang membahas etika santri, terutama terhadap gurunya, dari pada sebagai kitab metode, kecuali apabila kita sependapat bahwa etika itu sendiri merupakan metode. Namun etika yang dimaksud oleh kitab ini lebih banyak diwarnai oleh keadaan pada waktu kitab tersebut ditulis, seperti dapat dilihat dari banyaknya contoh-contoh yang bersifat lokal.
Tanpa mengurangi etika yang hendak ditanamkan oleh al-Jarnuji, sesudah mengkaji kitab ini seyogyanya murid melanjutkan kajiannya tentang kitab-kitab ushul fiqh. Dengan demikian murid dapat memiliki kelebihan ganda, kemampuan berfikir longgar dan etika yang terpuji. Kedua kelebihan ini perlu diwujudkan secara berimbang (tawazun), sebab sikap kritis yang tidak diimbangi dengan etika akan merepotkan para guru dan pengelola pendidikan, sedang keluhuran etika tanpa dibarengi dengan sikap kritis sering menimbulkan ‘lelucon’. Guru yang didemonstrasi muridnya merupakan contoh keadaan pertama, dan seorang murid yang mencium tangan tamu non muslim yang datang ke sekolahnya merupakan contoh untuk keadaan kedua. (amy)
Di beberapa negara Timur Tengah, khususnya Saudi Arabia kitab ini juga tidak disebut-sebut. Namun usaha seorang Doktor lulusan Jerman (dulu: Jerman Barat) yang melakukan edit dan kritik terhadap kitab ini membuktikan bahwa kitab tersebut masih diperhatikan orang.
Siapa al-Jarnuji?
Kitab Ta’lim yang beredar di tanah air umumnya dicetak dengan syarah (komentar)nya yang ditulis Syeikh Ibrahim ibn Isma’il. Sedang kitab Ta’lim itu sendiri ditulis oleh Syeikh al-Jarnuji. Baik kitab Ta’lim maupun Syarah-nya tidak menyebut identitas al-Jarnuji. Hal ini cukup mempersulit kajian kitab tersebut, sehingga dapat diketahui bagaiamana keadaan pada waktu kitab itu ditulis dan sejauhmana hal itu mempengaruhi kitabnya.
Dalam al-Munjid nama al-Jarnuji disebut singkat sekali. Yang agak membantu hal ini adalah keterangan yang terdapat dalam kitab al-A’lam (Tokoh-tokoh) karangan al-Zarkeli. Ditulis di situ bahwa al-Jarnuji adalah al-Nu’man ibn Ibrahim ibn Khalil al-Jarnuji, Taj al-Din. Beliau adalah sastrawan (adib) yang berasal dari Bukhara. Semula berasal dari Zarnuj, suatu kawasan di negeri-negeri seberang sungai Tigris (ma wara`a al-nahr). Beliau antara lain menulis kitab al-Muwadhdhah Syarh al-Maqamat al-Haririyah, dan wafat pada tahun 630 H/ 1242 M.
Al-Zarkeli tidak menuturkan di mana al-Jarnuji tinggal, namun secara umum al-Jarnuji hidup pada akhir periode Daulah Abbasiyah, sebab Khalifah Abbasiyah terakhir (al-Mu’tashim) wafat pada tahun 1258 M. Ada kemungkinan beliau tinggal di kawasan Irak-Iran, sebab beliau juga mengetahui syair-syair Parsi di samping banyaknya contoh-contoh peristiwa pada masa Abbasiyah yang beliau tuturkan dalam kitabnya.
Etika Santri
Kitab kecil, yang juga disebut Risalah (surat) ini, oleh pengarangnya dimaksudkan sebagai buku petunjuk tentang metode belajar bagi santri, seperti tersembul dari judulnya. Namun apabila dikaji isinya, metode belajar yang dimaksud sangat sedikit. Di antara 14 bab yang terdapat kitab ini (istilah kitabnya, fashl) hanya satu bab saja yang membahas metode belajar. Selebihnya membahas tentang keutamaan ilmu, motivasi belajar, memilih ilmu, guru, dan kawan, memuliakan ilmu dan ulama, dan lain-lain. Bahkan membahas hal-hal yang dianggap dapat mempercepat rizki, karena belajar tak pelak lagi memerlukan hal itu.
Karenanya, kitab ini cenderung lebih tepat disebut sebagai kitab yang membahas etika santri, khususnya kepada guru-gurunya, dibanding sebagai kitab tentang metode belajar. Dan agaknya, bagian inilah yang paling banyak mempunyai dampak. Di lingkungan pesantren, santri yang tidak sopan terhadap guru, ia akan segera dicap “tidak pernah mengaji kitab Ta’lim”, tetapi santri yang bodoh yang boleh jadi belum atau tidak mempraktekan isi kitab tersebut, cap itu tidak akan disandanganya. Dan karena pengarangnya seorang santrawan, maka petuah-petuah untuk itu juga banyak diambil dari syair-syair Arab.
Namun persoalaannya tidak berhenti sampai di situ, al-Jarnuji menyebut kitabnya sebagai metode belajar, sedangkan kajiannya banyak membahas etika. Pertanyaannya sekarang adalah, apakah etika itu sendiri merupakan salah satu metode untuk meraih ilmu? Tampaknya di kalangan pesantren ada kecenderungan untuk menyebutkan bahwa etika santri, terutama kepada gurunya, merupakan salah satu perangkat untuk memperoleh ilmu. Kisah-kisah santri yang pada waktu nyantrinya menjadi khadam (pembantu) kyai, menjadi tukang ambil air, dan lain-lain, tiba-tiba setelah pulang muncul sebagai kyai yang alim, adalah cerita yang sangat populer di kalangan pesantren semata-mata karena keluhuran spiritual seorang kyai atau pendiri pesantren tersebut. Baginya masalah metode belajar tidak menjadi soal, yang penting setelah sekian lama menyantri kelak akan muncul sebagai kyai yang alim, berkat ‘barakah’ dari kyai tersebut.
Kecendungan ini masih sangat berpengaruh di masyarakat. Tak heran kalau tokoh pesantren seperti H.M. Yusuf Hasyim, Pengasuh Pesantren Tebuireng, membuat istilah adanya “lembaga Barakah” di pesantren, ketika santri belajar hanya semata-mata mengharapkan barakah dari kyai atau pendiri pesantren.
Adanya barakah sebenarnya tidak perlu dipersoalkan, sebab pengertian barakah adalah kebaikan atau manfaat yang berkembang. Dan dalam hal ini, hasil doa para kyai dan guru untuk para santrinya dapat disebut barakah. Hanya harapan santri untuk memperoleh barakah hendaknya tidak mengurangi usahanya dalam belajar secara lahiriah. Dengan demikian, santri dalam satu saat harus menyatukan antara usaha (ikhtiar) dan doa.
Menjadi Budak Guru?
Salah satu bagian dari petuah-petuah kitab ini —dan ini yang paling berpengaruh seperti dituturkan di muka— adalah keharusan seorang santri untuk menghormati gurunya, begitu pula orang-orang yang mempunyai pertalian darah dengannya, seperti puteranya dan lain-lain. Khusus untuk menghormati guru, al-Jarnuji menyitir ucapan Sayidina Ali, “ana ‘abdu man ‘allamani harfan, in sya`a ba’a, wa in sya`a a’taqa wa in sya’a istaqarra” (Saya adalah hamba orang yang pernah mengajarkan satu huruf kepada saya, apabila ia mau boleh menjualku, memerdekakanku, atau tetap memperbudakku). Al-Jarnuji juga menuturkan beberapa cara menghormati guru, antara lain santri tidak diperkenankan berjalan di hadapan guru, tidak diperkenankan duduk di tempat duduknya, tidak boleh mendahului berbicara tanpa izinnya. Tidak boleh banyak berbicara dengannya, tidak boleh menanyakan hal-hal yang gurunya sudah jenuh, tidak boleh mengetuk pintunya tetapi mesti menunggu sampai keluar sendiri. Walhasil, santri harus selalu mencari kerelaan gurunya (tidak menyakiti hatinya) dan mematuhi segala perintahnya, sepanjang hal itu bukan ma’siat.
Keterangan inilah, agaknya, yang menimbulkan persepsi penyerahan total seorang santri kepada gurunya. Apalagi bila diingat adanya bayang-bayang, ilmunya tidak akan bermanfaat apabila ia pernah berbeda pendapat (I’tiradh) dengan gurunya atau pernah menyakiti hatinya. Persepsi ini, meski mempunyai nilai positif, namun tak urung menimbulkan dampak yang kurang diinginkan. Sebab, santri harus bersikap menerima tanpa berani bersikap kritis.
Al-Jarnuji memang tidak memberikan rincian tentang masalah-masalah apa yang bisa menyakiti guru itu. Barang kali karena tidak adanya rincian ini menjadikan hal itu diberlakukan secara umum. Dan anehnya, meskipun hal itu hanya dibahas dalam rangka belajar, namun implementasinya justru tampak di luar itu. Persepsi ‘apa kata guru dan murid harus menerimanya’ sudah melembaga dalam kehidupan masyarakat secara luas.
Keharusan memperoleh kerelaan guru nampak sangar relatif, apalagi bila hal itu dihubungkan dengan masalah interpretasi. Ternyata al-Jarnuji tidak menuturkan satu dalil pun petuahnya itu, selain ucapan Sayidina Ali serta sejumlah syair.
Dalam kaitannya dengan tradisi keilmuan, apabila kita tengok masa-masa jauh sebelum al-Jarnuji, misalnya periode imam-imam penegak madzhab, kita dapat memperoleh gambaran bahwa mereka tidak selamanya sependapat dengan gurunya. Bahkan, di antara mereka ada yang mendirikan madzhab sendiri, terpisah dari madzhab gurunya. Jauh sebelum itu, Umar ibn Khathab pernah juga diprotes oleh seorang wanita yang juga sebagai muridnya. Bila petuah al-Jarnuji di atas menjadi kriteria, sebenarnya gurulah yang sebenarnya elastis dalam mengkonotasikan kerelaannya. Sebab, boleh jadi seorang guru merasa tersinggung (tidak rela) apabila muridnya berbeda pendapat dengannya, sedangkan guru lain justru merasa bangga, bakan mendorong apabila muridnya berpendapat lain selama hal itu berdasarkan argumen yang kuat.
Tentang bayangan bahwa ilmu seorang santri tidak akan bermanfaat apabila ia pernah menyakiti hati gurunya, juga perlu direnungkan kembali. Apakah batasan manfaat dan dalam hal apa murid tidak diperkenankan sama sekali menyakiti hati gurunya. Sebab, ternyata banyak murid yang sewaktu belajar pernah melakukan ‘unjuk rasa’ terhadap gurunya, namun setelah terjun di masyarakat ia justru menjadi ulama besar.
Ushul Fiqih, Menerobos Taklid
Kepatuhan mutlak seperti tersebut di atas umumnya terdapat di kalangan murid atau santri tingkat Tsanawiyah ke bawah. Mereka yang sudah menginjakkan kakinya di tingkat Aliyah, apalagi di perguruan tinggi, keadaan di atas memperoleh bentuk yang lain. Masalahnya bukan karena mereka tidak lagi patuh kepada gurunya, melainkan pada tingkat tersebut usaha penalaran mulai dikembangkan. Pada tingat Aliyah, misalnya, murid tidak lagi sekedar menerima pelajaran yang sudah mapan seperti fiqh dan lain sebagainya, tetapi dikenalkan pula sumber-sumber atau dalil-dalil pelajaran itu. Di sini santri mulai mengenal proses terbentuknya fiqh, yang kenal dengan ‘ushul fiqh’. Karena tujuan ushul fiqh adalah mengkaji sumber dan cara pengambilan hukum, maka secara praktis ia menghendaki agar manusia tidak bersikap taklid (menerima apa adanya tanpa mengetahui sumbernya). Disinilah murid mulai berani mempertanyakan keabsahan suatu hukum kepada gurunya, tanpa meninggalkan penghormatan kepadanya. Umumnya, pada tingkat ini guru cukup menghargai sikap murid-murid yang demikian. Biasanya keadaan ini didukung pula oleh sistem pengajian yang individual (sorogan) atau klasikal.
Karenanya, dapat dimaklumi apabila murid-murid pesantren yang menerapkan sistem klasikal dan individual ini lebih mencerminkan kelonggaran berfikir dari pada murid-murid pesantren yang menerapkan sistem pengajian bandongan (massal). Murid-murid pesantren tipe pertama akan mengatakan apa kata dalil dan bagaimana memprosesnya menjadi suatu hukum, sedang murid-murid pesantren tipe kedua lebih cenderung mengatakan apa kata guru atau apa kata kyai.
Keseimbangan (Tawazun)
Kitan Ta’lim karangan al-Jarnuji ini lebih tepat disebut sebagai kitab yang membahas etika santri, terutama terhadap gurunya, dari pada sebagai kitab metode, kecuali apabila kita sependapat bahwa etika itu sendiri merupakan metode. Namun etika yang dimaksud oleh kitab ini lebih banyak diwarnai oleh keadaan pada waktu kitab tersebut ditulis, seperti dapat dilihat dari banyaknya contoh-contoh yang bersifat lokal.
Tanpa mengurangi etika yang hendak ditanamkan oleh al-Jarnuji, sesudah mengkaji kitab ini seyogyanya murid melanjutkan kajiannya tentang kitab-kitab ushul fiqh. Dengan demikian murid dapat memiliki kelebihan ganda, kemampuan berfikir longgar dan etika yang terpuji. Kedua kelebihan ini perlu diwujudkan secara berimbang (tawazun), sebab sikap kritis yang tidak diimbangi dengan etika akan merepotkan para guru dan pengelola pendidikan, sedang keluhuran etika tanpa dibarengi dengan sikap kritis sering menimbulkan ‘lelucon’. Guru yang didemonstrasi muridnya merupakan contoh keadaan pertama, dan seorang murid yang mencium tangan tamu non muslim yang datang ke sekolahnya merupakan contoh untuk keadaan kedua. (amy)